(toc)
Buat para bunda…calon bunda….dapet dari email temen…maaf bila tidak berkenan….moga bermanfaat…:)
Bismillahirrahmaanirrahiim, Komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak, suami dengan istri,maupun sebaliknya adalah penyebab tingginya angka kenakalan remaja dan perceraian suami istri. Bukan masalah frekuensi komunikasinya. Sering berkomunikasi tapi tidak sampai pada tujuan alias ‘gak nyambung’ bisa juga menjadi masalah.
Elly Risman menyebutkan beberapa masalah yang muncul karena miss-communication:
– Pacaran ( selingkuh buat suami/istri)
– Seks bebas
– Aborsi
– Putus sekolah
– MBA (Married By Accident: Nikah karena hamil duluan)
– Perceraian
– Narkoba
– HIV/AIDS
– Bunuh Diri
Beberapa tahun yang lalu, kita sempat dikejutkan oleh kasus anak 5,9 tahun yang gantung diri karena dimarahi ayahnya malam hari sebelum tragedi itu terjadi. Padahal sebelumnya, ia habis dimarahi ibunya karena tidak mau mandi sore. Keesokan paginya, ia ditemukan gantung diri dengan tali melilit lehernya di sebuah rumah kosong. Anak tersebut bernama Renaldi Sembiring. Ayahnya adalah seorang pengacara di Semarang (ada juga yang bilang hakim). Ini hanya 1 kasus dari puluhan kasus bunuh diri anak akibat orang tua tidak memahami perkembangan jiwa anak dan mengabaikan perasaan mereka ketika berkomunikasi.
Na’udzubillahimindzalik.
Image by Tim Kraaijvanger from Pixabay
10 kekeliruan dalam berkomunikasi yaitu:
Kekeliruan#1. Bicara tergesa-gesa.
Pemandangan yang lazim di pagi hari ketika ibu berteriak kepada anaknya:
“Cepaattttt…!! Sudah jam berapa ini ayo mandi siapin baju jangan lupa buku-bukunya masukin ke tas langsung sarapan tuh sepatu dan kaos kakinya di belakang pintu buruan keburu mobil jemputan dateng pokoknya kalo ketinggalan jemputan Mama gak mau nganter!”
Walah, paleng’e… Butuh konsentrasi tinggi untuk menangkap puluhan kata yang diteriakkan bagai laju kereta api itu. Apakah anak mendengarkan? Bagaimana responnya? Paling ia berjalan gontai ke kamar mandi seperti tidak terjadi apa-apa. Karena sudah terbiasa dengan kicauan itu setiap hari.
Lantas, apa gunanya teriak-teriak gak jelas seperti itu? Bagi orang tua:
– Menghabiskan energi
– Dongkol
– Makin emosi
Bagi anak:
– Makin sebel sama orang tua
– Gak ngaruh dibegitukan, sudah biasa.
Solusinya?
Tidak tergesa-gesa ketika bicara, atur kalimat, jangan emosi sehingga lawan bicara mengerti apa yang kita komunikasikan.
Kekeliruan#2. Tidak kenal diri sendiri.
Mari kita uji coba. Sebutkan 3 keunikan Anda yang berbeda dari orang lain. Entah itu kebiasaan, hobby, warna kesukaan. Waktunya 1 menit!
Apakah Anda kesulitan menemukan keunikan Anda? Ya, kebanyakan peserta seminar memang bingung. Alasannya: tergesa-gesa, keburu waktu, panik. Namun alasan sesungguhnya adalah: Anda tidak mengenal diri Anda sendiri. Bukankah kalau kenal- bisa reflek menyebutkan keunikan diri sendiri?
Lantas, apakah kita sudah mengenal keunikan pasangan hidup kita? Anak kita? Disinilah pentingnya mengenali lawan bicara ketika sebelum berkomunikasi. Adakalanya suami begitu angkuh dan cuek ketika istri nangis bombay saat berantem. Bisa jadi karena waktu kecil, sang suami dididik ayahnya kalau :
laki-laki gak boleh nangis!. Besarnya pun ia akan anti nangis, malah tidak suka melihat orang nangis. Atau istri begitu sensitif karena sering diremehkan oleh orang tuanya.
Atau anak kita :
Usia 5 tahun, ketika disuruh: “Sayang, buangin sampah, dong, ketempatnya!”. Sang anak pasti dengan senang hati melakukannya.
Usia 7 tahun, ketika disuruh hal yang sama, responnya : “Ntar!” atau “Kok, gak mamah aja?”
Usia 10 tahun, responnya : “Capek!” alias menolak untuk diperintah.
Ternyata, cara bicara orang tua yang itu-itu saja tidak membuat anak makin pintar atau nurut. Anak jenuh dan bosan dari kecil diperlakukan seperti itu. Itulah mengapa orang tua harus kenal, tanggap dan menggunakan bahasa komunikasi yang berbeda sesuai perkembangan jiwa dan pertambahan umur anak.
Solusinya?
Kenali lawan bicara kita.
Kekeliruan#3. Lupa : setiap individu U N I K.
Dari jutaan sperma yang menghampiri sel telur, hanya 1 sperma yang paling unggul, paling kuat, dan paling berkualitas yang mampu menembus ke dalam sel telur dan membuahinya. Baik sel sperma maupun sel telur turut bertanggungjawab menghasilkan zigot yang terlahir sebagai bayi mungil untuk orang tuanya. Tapi kenapa kebanyakan suami selalu membebankan pengasuhan dan pendidikan anak kepada istri? Bukankah anak itu hasil dari suami istri berdua?
Kemudian, betapa banyak orang tua yang kesulitan memiliki anak, bersedia mengeluarkan uang ratusan juta rupiah dan melakukan pengorbanan besar agar ada suara tangis bayi di rumahnya. Tetapi, mengapa orang tua yang dimudahkan Allah untuk memiliki keturunan tidak mensyukuri hal ini?
idak jarang ketika orang tua greget melihat kenakalan anaknya lantas berkata,”Iiiiiiiiihh..!! Sebenarnya kamu anak siapa, siihhh!!!”
Jika terus menerus dibegitukan, lama-lama anak akan bertanya, “Iya, yah, aku ini anak siapa, sih?”
kembali, bahwa anak terlahir, apapun keadaannya, kekurangan dan kelebihannya, itu atas kuasa Allah Azza wa Jalla semata. Ada anak yang terlahir normal, mewarisi kecerdasan, dan kelincahan. Ada pula yang terlahir dengan kekurangan seperti: dislexia (kesulitan membaca), disgrafia (kesulitan menulis) dan diskalkulia (kesulitan berhitung). Semua itu adalah keunikan anak yang harus dihargai, disyukuri. Tentunya orangtua tidak bisa memaksa anak yang dislexia untuk cepat membaca, anak diisgrafia untuk menulis indah, dan seterusnya.
Perlakukan anak sesuai keadaan dan keunikannya.
Solusinya?
Setiap individu berbeda. Perlakukan ia sebagai pribadi yang unik.
Kekeliruan#4. Perbedaan Needs and Wants (Kebutuhan dan keinginan)
Anak menyukai design grafis, tapi orang tua ingin anaknya jadi dokter. Jelas dua kebutuhan dan keinginan yang berbeda ini menjadi pemicu salah paham dan ketidakharmonisan. Orang tua tidak punya banyak waktu untuk mempertimbangkan keinginan anak. Orang tua mengabaikan kebutuhan anak. Akhirnya berujung pada pemaksaan kehendak dari orang tua kepada anaknya. Adu urat syaraf sudah menjadi skenario sehari-hari.Padahal yang menjalani hidup adalah anaknya, bukan orang tuanya. Yang kenal kemampuan diri sendiri adalah anak, bukan orang lain.
Ada pula orang tua yang sibuk bekerja dan memberikan apapun kebutuhan materi yang diperlukan anak. Padahal anak membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Tapi orang tua merasa sudah mencukupi keinginan dan kebutuhan anak. Maka hancurlah hubungan. Satu sama lain tidak nyambung. Anak butuh A, orang tua ngasih Z.Â
Solusinya?
Sadari dan pahami bahwa keinginan dan kebutuhan tiap individu itu BERBEDA!
Kekeliruan#5. Tidak membaca bahasa tubuh
Ketika anak memecahkan gelas, otomatis sang ibu berteriak dan memarahi. Tak jarang juga yang main fisik dengan memukul atau mencubit. Seandainya ada rekaman video ketika anak menyenggol gelas dan memecahkannya, perhatikan ekspresinya. Mulutnya menganga, sekujur tubuhnya tegang tak berkutik, kedua tangannya kaku, ekspresinya menunjukkan kekhawatiran, rasa penyesalan dan ketakutan kalau dimarahi. Jika sang ibu membaca bahasa tubuh anak, masihkah tega untuk memarahinya? Anak sudah ketakutan, masih ditambah dengan dimarahi dan dipukul. Begitu berhargakah sebuah gelas dibandingkan perkembangan jiwa anak?
Solusinya?
Lidah bisa berbohong, tapi bahasa tubuh tidak. Baca bahasa tubuh.
Kekeliruan#6. Tidak mendengar perasaan.
Bayangkan anak Anda <atau suami Anda:ed>, pulang sekolah, kehujanan, membawa ransel berat di punggungnya, pulang ke rumah dengan sepatu belepotan lumpur. Ia masuk dengan wajah cemberut, melepas sepatu yang penuh lumpur dengan menendangnya, dan melempar tas ke mana saja. Padahal Anda sudah susah payah menyapu, mengepel dan membereskan rumah.
Apa yang Anda lakukan?
“Hei, apa-apaan kamu! Masuk gak salam, sepatu dilempar sembarangan, lantai jadi kotor, tuh! Ayok beresin! Taruh yang bener!”
Sebagai anak, apa yang akan dilakukan? Sudah pasti langsung masuk kamar dan menguncinya. Males ngomong dengan ibunya. Kita ulang lagi kejadian di atas. Ketika anak melempar sepatu dan tasnya, perhatikan ekspresinya. Ya! Ia lelah, capek, lapar, pusing.
Ketika Anda mengenali perasaannya, dan berkata, “Wah, anak ibu sudah pulang. Capek, ya?”
Kira-kira, apa respon anak?
“Ngga!” sambil manyun. Setidaknya ia mau ngomong.
Jangan menyerah, coba kenali perasaan yang lain dan jangan takut salah. “Oh, pasti laper?”
Jawab anak, “Ngga!”
Ibu : “Lagi kesal?”
Anak : “Iya! Tadi PR aku ketinggalan di rumah. Aku disetrap Pak Guru. Eh, si Riko ngetawain aku di bangkunya. Pulang sekolah aku mau jajan, laper, tapi uangku hilang. Terus si Riko dan teman-temannya menjegal kakiku sampai aku jatuh. Aku kesakitan, tapi aku paksa aja karena mau pulang. Uuhh, di tengah jalan malah hujan. Mana becek lagi!”
Wow, ternyata masalah yang dihadapi anak begitu bertubi-tubi. Perasaan dia sedang marah, kesal, dongkol dan capek. Masihkah tega memarahinya?
Dari dua kejadian di atas, manakah komunikasi yang baik?
Solusinya?
Dengarkanlah perasaan. Tandai pesan dari gelagat dan bahasa tubuhnya. Jangkau perasan lawan bicara. Buka komunikasi dengan menamai perasaan lawan bicara, misal: Capek, ya? Marah? Wah, kesal, dong?.
Jangan takut salah, karena lawan bicara akan dengan senang hati membetulkan. O,ya, kalau ibu merespon dengan kata, “Duh, kasihan anak ibu.” Itu tidak tepat. Karena kasihan itu adalah perasaan ibu. Bukan perasaan anak. Dengan menyebut seperti itu, sama saja dengan menghentikan curhatan anak. Konsentrasilah pada perasaan anak. Biarkan emosi dan permasalahannya keluar sehingga ia tenang.
Kekeliruan#7. Menggunakan 12 gaya populer.
a. Memerintah.
b. Menyalahkan
c. Meremehkan
d. Membandingkan
e. Mencap/label
f. Menasehati
h. Membohongi
i. Menghibur
j. Mengritik
k. Menyindir
l. Menganalisa.
(Catatan penulis: yang dimaksud memerintah, menasihati dan menghibur di atas adalah ketika dilakukan dengan cara yang salah)
-Memerintah :
“Eh.. eh.. eh… jangan lewat situuu…!! ntar jatuuhhh..!!!”
Tapi anak makin penasaran, malah tambah ngebut main sepedanya. Akhirnya si anak beneran jatuh dan nangis sekencang-kencangnya.
-Menyalahkan
“Naaahh…kaann!! Jatuh juga! Mama bilang apa tadi? Kamu sih dikasih tau gak mau denger!” (Ya, iya, tau. Abisnya Mama gak bilang di situ ada lobang. Kalau bilang ada
lobang kan, saya gak akan lewat situ!”)
– Meremehkan
“Halaaah, luka kecil aja nangis!”
Anak meringis kesakitan, sambil megangin lututnya yang lecet dan berdarah. Kagetnya juga belum hilang.
(Luka segede ini masak dibilang kecil? Jadi luka gede itu seperti apa, yak?)
– Membandingkan
Anak dibawa ke dalam rumah. Di sana ada papanya. Kata papa, “Kemarin temen
kamu, si Difta, jatuh dari sepeda gak nangis, tuh!”
(Beeu… dia ya dia, gue ya gue!)
– Mencap/ label
Kata papa lagi, “Jangan cengeng, ah! Anak papah gak ada yang cengeng!”
(Ini nahan sakit bukan cengeng, plus sebel! Lagi sakit bukannya dihibur!)
– Mengancam
“Kalau masih nangis gak dibeliin mainan lagi, lho!”
(Ya, elaaahh….ditambah ngancem lagi, sebeeellll bin benciiiii!!)
– Menasihati
“Lain kali, kalau mama ngomong itu didenger yah!”
(iya, iya udah tauuuuuuuuuuuuuukkkkkkkkkkkkkk!!)
– Membohongi & Menghibur
“Ah, luka cemen gitu mah besok juga sembuh!”
Keesokan harinya, ketika mandi pagi, lukanya terkena air dan terasa perih.
Pikir anak: “Sakiiit, kata mama papa lukanya sembuh besok, ini kan udah besok, kok belum sembuh?” –> anak bingung. Ia tahu kalau papa mamanya berbohong.
“Berarti bohong itu boleh, kan papa mama udah bohongin aku.” Si anak belajar bohong langsung dari orang tuanya sendiri.
-Mengritik
“Kamu tuh kalau dibilangin suka ngeyel, gak mau denger! Tau rasa kan akibatnya!”
(Isi sendiri deh, gimana perasaan anak kalau dibegitukan, hehehe)
– Menyindir
“Biasanya, kalau anak bandel itu suka sial nasibnya. Jatuuhh melulu!”
(…………..)
– Menganalisa
“Kalau seorang anak tidak mendengar nasihat ibunya, sudah pasti kualat tuh. Papa yakin kamu denger peringatan mama, tapi kamu langgar, kan? Mangkanya kamu jatuh. Itu peringatan buat kamu supaya lain kali jangan diulangi lagi!”
(Zzzzzzzzzzzzz)
Akibat menggunakan 12 gaya populer tidak pada tempat dan porsinya alias
sekenanya:
– Anak tidak percaya pada perasaannya sendiri. “Kata saya sakit, tapi kata mama, segini itu gak sakit.”
– Tidak percaya pada diri sendiri.
Solusinya?
kita harus belajar memperbaiki pola pikir kita thd lawan bicara, meningkatkan kemampuan berkomunikasi
Kekeliruan#8. Tidak memisahkan: Masalah Siapa?
Ketika anak pulang sekolah, ia baru sadar kalau tugas prakaryanya yang belum selesai ketinggalan di rumah temannya. “Ibu,…tugasku ketinggalan di rumah temen. Padahal besok harus dikumpulin. Kalau belum selesai dan gak dikumpulin, ntar aku dihukum bu guru. Anterin, dong, bu…!”
Sebagai orang tua tentu tidak tega melihat anaknya susah. Pilihannya dua, membantu atau membiarkan. Salah memilih tindakan, akan berakibat fatal bagi perkembangan anak. Tapi, sebagai orang tua harus bisa memisahkan masalah siapa. Prakarya ketinggalan di rumah teman adalah masalah yang ditimbulkan anak. Bukan masalah orang tua. Ajarkan anak untuk menyelesaikan masalahnya. Apapun pilihan anak,pasti ada konsekuensinya.
Jika orang tua berhasil dalam tahap ini, maka anak terbiasa untuk berpikir, memilih dan mengambil keputusan. Anak pun akan menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab.
Solusinya?
Pikirkan bahwa Anak perlu BBM : Berfikir – Memilih – Mengambil Keputusan.
Kekeliruan#9. Kurang mendengar aktif.
Betapa banyaknya orang tua yang sok tahu permasalahan anak padahal dia tidak tahu apapun. Ketika anak mendapat nilai jelek, kesimpulan orang tua :malas belajar. Padahal ia sedang bermasalah dengan kesehatan matanya, temannya atau cara pengajaran gurunya.
Orang tua tidak punya waktu untuk mendengarkan permasalahan anak. Tidak heran banyak anak yang tidak patuh pada orang tua sendiri tapi nurut pada guru (yang baik) atau orang lain. Hal itu dikarenakan orang tua tidak menempatkan diri sebagaiproblem solving tapi malah nambah problem anak.
Jadilah cermin untuk menjadi pendengar aktif.
– “oo.. begitu?”
– “Hmm… masya Allah..”
– “… terus?”
– “Sedih bener, dong?”
– “Kecewa, ya?”
– “… hmm, mangkanya kamu marah betul…”
Solusinya?
Menjadi pendengar aktif akan membuka komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan lawan bicara.
Kekeliruan#10. Selalu menunjuk, “kamu!”
“Kamu, tuh, ya, jadi anak bla bla bla…!”
“Kamu, kok, begitu? bla bla bla..!”
Lawan bicara akan tersudutkan dan reflek untuk membela diri sehingga terjadilah cekcok.
Solusinya?
Seharusnya:
Sampaikan pesan S A Y A:
“Saya……. (sampaikan perasaan Anda)…….kalau ……… karena………..
Contoh:
“Papa tidak suka kalau kamu pulang malam karena berbahaya untuk kesehatanmu.”
—————- THE END ——————
Note : Catatan ini bukan antara orang tua dengan anak saja, tapi bisa juga
direfleksikan kepada suami/istri atau siapapun lawan bicara kita.
Semoga bermanfaat ^^
Bagi temans yang ingin nge share/copas/sebarluaskan, dipersilakan.
Alhamdulillahirobbil’alaamiin.
Amalia Husna M.
Narasumber : Dra. Elly Risman, Psi.
Seminar: Peran Komunikasi Orang Tua dalam Membangun Pribadi Anak yang Tangguh
Menyongsong Era Milenium Development Goals.
Tempat dan Waktu : Hotel Permata Cilegon, 21 April 2011